Perang Asia Bisa Meletus, RI Mesti Tanggung Derita Ini

Jet tempur yang lepas landas dari kapal induk China Shandong terlihat di atas perairan Samudera Pasifik, selatan prefektur Okinawa, Jepang, dalam selebaran yang dirilis oleh Kantor Staf Gabungan Kementerian Pertahanan Jepang 10 April 2023. (Joint Staff Office of the Defense Ministry of Japan/HANDOUT via REUTERS)

Hubungan China dan Taiwan kembali memanas dalam sepekan terakhir. Jika situasi memburuk maka Indonesia bisa merasakan banyak dampak pahit.

Kembali memanasnya hubungan Tiongkok dan Taiwan dipicu oleh kunjungan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen ke Amerika Serikat (AS), pekan lalu.

Di AS, Tsai menggelar pertemuan penting dengan sekelompok anggota parlemen bipartisan, termasuk Ketua DPR AS, Kevin McCarthy.

Menyusul kunjungan Tsai, Presiden Xi Jinping pun memberi peringatan keras. Tak hanya itu, dia langsung meminta militer untuk bersiaga penuh dan menggelar latihan militer.
Situasi semakin memanas karena militer AS mendekat ke Laut China Selatan (LCS) dan bersama dengan milter Filipina menggelar latihan bersama.

Australia sebagai sekutu AS di kawasan Pasifik juga ikut membuat panas situasi dengan mengirim tentara mereka.

Situasi yang memanas tentu saja menjadi kekhawatiran global, terlebih bagi negara-negara yang berada di kawasan Asia Pasifik seperti Indonesia.

Jika perang meletus maka banyak konsekuensi yang harus ditanggung banyak negara. Di antaranya adalah terganggunya lalu lintas perdagangan.

Bagi Indonesia, China dan Taiwan adalah dua negara yang sama-sama menjadi mitra dagang utama.
Namun, dari sisi diplomatik sangat beda perlakuan.

Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Taiwan. Hubungan keduanya lebih didasari pada kerja sama ekonomi.

Lalu, jika perang meletus, apa saja yang harus diwaspadai Indonesia?

1. Terganggunya ekspor impor
Perang, dalam skala apapun, akan mengganggu jalur distribusi barang. Layanan kargo biasanya akan memutar untuk menghindari wilayah konflik sehingga ongkos akan jauh lebih mahal. Akibatnya, barang akan menjadi makin mahal dan inflasi naik.

China adalah eksportir terbesar di dunia dengan share hampir 14%. Dengan share yang besar tersebut tentu saja apapun yang terjadi pada Tiongkok akan berdampak kepada percaturan ekspor global.

Aktivitas ekonomi China bisa saja terganggu dan konsumsi masyarakat Tiongkok bisa lesu.

Akibatnya, permintaan terhadap sejumlah barang juga akan menurun dan kondisi tersebut akan berpengaruh kepada harga komoditas seperti batu bara hingga minyak sawit mentah.

China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia dengan nilai total perdagangan menembus US$ 133,65 miliar pada 2022.

Ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai US$ 65,92 miliar sementara impor menembus US$ 67,72 miliar.

Indonesia merupakan pemasok utama batu bara bagi China. Komoditas andalan lainnya adalah minyak sawit, nikel dan ferro nikel, hingga besi dan baja.

Sebaliknya, Tiongkok adalah pemasok utama bagi Indonesia untuk mesin dan peralatan mekanik, kendaraan dan bagiannya serta  plastik.

Meskipun tidak sebesar China, ekspor ke Taiwan juga terus tumbuh. Dari US$ 4,03 miliar pada 2019 menjadi US$ 8,7 miliar.

Ekspor Indonesia ke Taiwan berupa minyak sawit dan batu bara. Sebaliknya, Indonesia mengimpor elektronika dan komoditas pesawat.

Bila kedua negara perang maka hubungan dagang Indonesia dengan Taiwan dan China pun akan terganggu. Permintaan akan komoditas Indonesia terancam anjlok. Ekspor Indonesia pun bisa turun.

Indonesia juga akan kesulitan mendapatkan pasokan barang dan kebutuhan bahan mentah atau barang modal dari kedua negara.

2. Investasi

China menjadi investor asing terbesar pada kuartal IV-2022 dengan investasi menembus US$ 3 miliar. Tiongkok menggeser Singapura yang selama bertahun-tahun menjadi investor terbesar dalam satu kuartal.

Secara keseluruhan tahun 2022, Singapura masih menjadi investor terbesar RI dengan nilai investasi menembus US$ 13,3 miliar. Disusul kemudian dengan China, Hongkong, Jepang, dan Malaysia.

Nilai investasi China pada 2022 menembus US4 8,2 miliar pada 2022 naik 156% dibandingkan pada 2021 yang mencapai US$ 3,2 miliar.

Investasi China baru melonjak dalam empat tahun terakhir.  Pada 2013, total investasi China hanya menembus US$ 297 juta yang menempatkan mereka pada posisi 12 investor terbesar di Indonesia.

Pada 2015, China naik ke peringkat ke-9 dengan investasi US$ 628 juta hingga mencapai posisi ketiga pada tahun 2017.

Bila perang meletus maka investor diperkirakan akan memilih sikap wait and see sehingga laju investasi bisa melambat dengan cepat.

3. Kunjungan turis

Jumlah warga Tiongkok yang mengunjungi Indonesia cukup besar sebelum pandemi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 2,07 juta warga China mengunjungi Indonesia pada 2019. Jumlah tersebut setara dengan 12,5% dari total kunjungan turis pada tahun tersebut.

Jumlah turis China yang berkunjung ke Indonesia turun drastis karena China menutup perbatasan.  Mereka baru membuka perbatasan pada Januari tahun ini.

Pada 2022, jumlah wisman Tiongkok yang berkunjung ke Indonesia hanya menyentuh 144 ribu. Mayoritas dari wisman tersebut bepergian untuk bisnis.

Bila perang pecah maka kunjungan turis China ke Indonesia bisa semakin turun sehingga devisa dari Tiongkok semakin berkurang.

4. Tenaga kerja Indonesia

Taiwan dan Hong Kong adalah dua kawasan yang menjadi tujuan favorit bagi pekerja imigran Indonesia.

Kementerian Ketenagakerjaan mencatat pekerja migran Indonesia di luar negeri mencapai 200.761 orang per akhir 2022.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 60.096 pekerja tersebut ditempatkan di Hong Kong sementara sebanyak 53.456 di Taiwan.

Perang bisa mengancam tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Selain permintaan tenaga kerja yang berkurang, perang bisa membuat mereka dipulangkan demi keselamatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*